illustrasi |
Masih juga tak mengaku, Tino
mengangkat sapu dan memukuli seluruh tubuh bocah itu. Suara tangis kesakitan
Arie pada pukul 22.30 WIB sayup-sayup didengar tetangganya. "Menghadap
tembok," teriak Santi seperti dituturkan sejumlah saksi.
Kesal karena kata maaf tak kunjung
terucap, Santi kemudian datang dengan menenteng pisau pengupas mangga dan
sekali lagi mengancam Arie untuk meminta maaf.
Namun, lagi-lagi Arie menutup mulut.
Dengan penuh emosi, Santi menjambak dan menodongkan pisaunya ke muka bocah yang
sudah sangat ketakutan itu.
Setelah sang ibu tiri meninggalkan
"ruang penyiksaan", giliran Toni datang dan memukul Arie yang sudah
sangat lemah itu. "Berdiri terus di situ," perintah sang ayah.
Jarum jam menunjukkan pukul 01.00
WIB ketika Toni bangun dan menengok Arie. Ia menjumpai bocah itu sudah tidak
berdiri lagi dan tengah duduk. Minuman di gelas yang diperintahkan tidak boleh
diminum, sudah bergeser letaknya.
Bukannya merasa iba, Toni malah naik
darah dan kembali menyiksanya. Gagang sapu mulai menghujani tubuh anak malang
ini. Toni juga membenturkan kepalanya ke tembok. Akhirnya, anak yang lincah ini
tersentak dan menggelosor jatuh.
Sang ayah kembali beranjak ke kamar
tidur.
Pada pukul 03.00 WIB, Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984.
Pada pukul 03.00 WIB, Toni bangun dan melihat anaknya sudah terbujur kaku. Sang ayah jadi panik dan bersama Santi melarikan Arie ke rumah sakit. Namun, dokter yang memeriksanya mengatakan Arie sudah tidak bernyawa. Hari itu, Kamis 8 November 1984.
Keesokan harinya masyarakat gempar
ketika media cetak memberitakan kematian anak yang malang ini. Selama
berminggu-minggu kemudian, kisah tragis ini menjadi berita utama di
koran-koran. Sejak itu, nama Arie lekat di ingatan publik sebagai korban
kekejaman orangtua.